Sabtu, 29 Desember 2012

hukum weinberg (evolusi)


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Pada tahun 1908, ahli Matematika Inggris G.H. Hardy dan seorang ahli Fisika Jerman W. Weinberg secara terpisah mengembangkan model matematika yang dapat menerangkan proses pewarisan tanpa mengubah struktur genetika di dalam populasi. Hukum Hardy-Weinberg menyatakan bahwa jumlah frekuensi alel di dalam populasi akan tetap seperti frekuensi awal, dengan beberapa persyaratan yaitu: populasi sangat besar, kawin acak, tidak ada perubahan di dalam unggun gen akibat mutasi, tidak terjadi migrasi individu ke dalam dan ke luar populasi, dan tidak ada seleksi alam (semua genotip mempunyai kesempatan yang sama dalam keberhasilan reproduksi).
Hukum Hardy-Weinberg memberikan standar ideal untuk para ahli genetika untuk membandingkan populasi yang sebenarnya dan mendeteksi perubahan evolusi. Dua hal utama dalam hukum Hardy-Weinberg, yaitu (1) Jika tidak ada gangguan maka frekuensi alel yang berbeda dalam populasi akan cenderung tetap/tidak berubah sepanjang waktu. (2) Dengan tidak adanya faktor pengganggu, maka frekuensi genotipe juga tidak akan berubah setelah generasi I.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Hardy-Weinberg dan Evolusi
Asas Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel dan frekuensi genotipe dalam suatu populasi akan tetap konstan, yakni berada dalam kesetimbangan dari satu generasi ke generasi lainnya kecuali apabila terdapat pengaruh-pengaruh tertentu yang mengganggu kesetimbangan tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut meliputi perkawinan tak acak, mutasi, seleksi, ukuran populasi terbatas, hanyutan genetik, dan aliran gen. Adalah penting untuk dimengerti bahwa di luar laboratorium, satu atau lebih pengaruh ini akan selalu ada. Oleh karena itu, kesetimbangan Hardy-Weinberg sangatlah tidak mungkin terjadi di alam. Kesetimbangan genetik adalah suatu keadaan ideal yang dapat dijadikan sebagai garis dasar untuk mengukur perubahan genetik.

2.2 Syarat Berlakunya Asas Hardy-Weinberg
  1. Setiap gen mempunyai viabilitas dan fertilitas yang sama
  2. Perkawinan terjadi secara acak
  3. Tidak terjadi mutasi gen atau frekuensi terjadinya mutasi, sama besar.
  4. Tidak terjadi migrasi
  5. Jumlah individu dari suatu populasi selalu besar
Jika lima syarat yang diajukan dalam kesetimbangan Hardy Weinberg tadi banyak dilanggar, jelas akan terjadi evolusi pada populasi tersebut, yang akan menyebabkan perubahan perbandingan alel dalam populasi tersebut. Definisi evolusi sekarang dapat dikatakan sebagai: ”Perubahan dari generasi ke generasi dalam hal frekuensi alel atau genotipe populasi”. Dalam perubahan dalam kumpulan gen ini (yang merupakan skala terkecil), spesifik dikenal sebagai mikroevolusi. Akan dibahas 5 penyebab mikroevolusi:

1.      Genetic Drift (Hanyutan Genetik)
Bayangkan anda melempar uang 10x dan mendapatkan hasil 3 angka,7 gambar. Anda masih bisa menerimanya. Jika anda melempar 100.000x dan mendapatkan 30.000x gambar, anda akan curiga dengan mata uang tersebut. Semakin kecil ukuran sampel, semakin besar peluangnya untuk terjadi penyimpangan dari hasil ideal yang diharapkan. Misalkan, ada populasi bunga liar yang anggaplah konstan terdiri dari 10 tumbuhan dengan AA=5, Aa=3, aa=1. Pada generasi pertama, hanya 5 yang bereproduksi (1AA, 3Aa, dan 1aa). Selanjutnya, akan terjadi 10 tumbuhan dengan AA=3, Aa=4, aa=3. Jika selenjutnya hanya 3 tumbuhan yang menghasilkan keturunan (2AA dan 1Aa), pastilah alel a semakin tereduksi dalam populasi tersebut. Inilah satu contoh mikroevolusi. Lainnya adalah Efek Leher Botol (Bottleneck Effect), yakni faktor non seleksi alam (misalkan bencana alam) yang memilih korban benar-korban secara acak). Contoh klasik dari efek leher botol adalah habisnya variasi genetik anjing laut gajah utara yang nyaris punah pada 1890 ketika jumlahnya hanya 20 ekor. Ketika diuji pada 1970-an, 30.000 anjing laut gajah utara tidak memiliki variasi genetik sama sekali yang dimungkinkan akibat pergeseran genetik. Perbandingan, variasi genetik melimpah pada anjing laut gajah selatan yang hidup tentram.
Hal ini mirip sekali dengan apa yang dinamakan dengan Efek Pendiri (Founder Effect), misalkan hanya ada beberapa biji-bijian yang terbawa oleh burung ke pulau kecil, jelas potensi untuk menghasilkan populasi yang berbeda dengan populasi tetuanya amat besar.

2.      Gene Flow (Aliran Genetik)
Adalah pelanggaran syarat Kesetimbangan Hardy-Weinberg yang mengatakan bahwa populasi harus terisolasi dari populasi lain. Misalkan ada dua populasi bunga liar. Jika serbuk sari aa dari populasi pertama tertiup ke populasi kedua, frekuensi alel aa akan meningkat terus pada populasi kedua.

3.      Mutasi
Meskipun mutasi dalam lokus gen tertentu jarang terjadi, dampak kumulatifnya dapat berakibat nyata. Hal ini disebabkan karena tiap individu punya ribuan gen dan banyak populasi memiliki jutaan individu. Tentunya dalam jangka panjang, mutasi sangat penting bagi evolusi karena posisinya sebagai sumber asli variasi genetik yang merupakan seleksi alam.

4.      Perkawinan Tak Acak
Adalah pelanggaran syarat kesetimbangan Hardy-Weinberg yang mengharapkan perkawinan acak. Nyatanya, individu akan lebih sering kawin dengan tetangganya (bahkan kawin dengan dirinya sendiri/selfing yang amat umum pada tumbuhan). Hal ini akan mengurangi jumlah heterozygote dan meningkatkan jumlah homozygote dominan dan resesif. Pun ada jenis perkawinan berdasar pilihan (assortative mating), yakni individu (biasanya betina) cenderung memilih jantan dengan ciri-ciri khusus. Bisa ditebak, ini menyebabkan pergeseran dalam perbandingan alel tertentu.

5.       Seleksi Alam
Intinya adalah keberhasilan yang berbeda dalam reproduksi. Seleksi alam menyebabkan perbandingan alel yang diturunkan ke generasi berikutnya menjadi berubah dibandingkan perbandingan alel di populasi awal. Di antara semua faktor mikroevolusi yang kita bahas, hanya seleksi alam yang mampu menyesuaikan populasi dengan lingkungannya. Seleksi alam mengakumulasi dan mempertahankan genotipe yang menguntungkan dalam populasi. Jika lingkungan berubah, seleksi alam akan “merespons” dengan mempertahankan genotipe yang cocok dengan lingkungan yang baru. Akan tetapi, derajat adaptasi hanya dapat diperluas dalam ruang lingkup keanekaragaman genetik populasi tersebut.

2.3 Penerapan Hukum Hardy-Weinberg
Contohnya aplikasi Hukum Hardy-Weinberg antara lain sebagai berikut:
1.      Menghitung prosentase populasi manusia yang membawa alel untuk penyakit keturunan.
Frekuensi individu yang lahir dengan PKU disimbolkan dengan q2 pada persamaan Hardy-Weinberg (q2 = frekuensi genotip homozigot resesif). Kejadian satu individu PKU tiap 10 ribu kelahiran menunjukkan q2 = 0,0001. Oleh karenanya frekuensi  alel resesif untuk PKU dalam populasi adalah sebagai berikut.
q2 = 0,0001       q  =   √ 0,0001  =  0,01
Data frekuensi alel dominant ditentukan sebagai berikut.
p = 1 – q ; p = 1 –  0,01 ; p = 0,99
Frekuensi heterozigot karier, pada individu yang tidak mengalami PKU namun mewariskan alel PKU pada keturunannya, yaitu sebagai berikut.
2pq = 2 x 0,99 x 0,01
2pq = 0,0198 ( sekitar 2% )
Hal  ini berarti sekitar 2 % suatu populasi manusia yang membawa alel PKU.
2.      Menghitung frekuensi alel ganda.
Persamaan (p + q) = 1 seperti yang digunakan pada contoh-contoh sebelumnya hanya berlaku apabila terdapat dua alel pada suatu lokus dalam autosom. Apabila lebih banyak alel ikut mengambil peranan, maka dalam persamaan harus ditambah lebih banyak  symbol. Misalnya pada golongan darah system ABO dikenal tiga alel yaitu IA, IB dan i . Andaikan p menyatakan frekuensi alel IA , q untuk frekuensi alel IB dan r untuk frekuensi alel  i , maka persamaan menjadi (p + q + r) = 1. Hukum Ekuilibrium Hardy-Weinberg untuk golongan ABO berbentuk sebagai berikut.
P2IAIA  + 2prIA i  +  q2IBIB  +  2qrIB i + 2 pqIAIB  + r2ii
  1. Berapakah frekuensi alel  IA , IB , dan i pada masing-masing populasi tersebut ?
  2. Dari 320 orang yang bergolongan darah A itu, berapakah diperkirakan homozigotik IA IA ?
  3. Dari 150 orang bergolongan darah B itu, berapakah diperkirakan heterozigotik  IB i ?
Penyelesaian untuk persoalan diatas sebagai berikut. Andaikan p = frekuensi untuk alel IA , q = frekuensi untuk alel IB , r = frekuensi untuk alel  i, maka menurut hukum Hardy-Weinberg :
a.       p2IAIA  +  2prIA  +  q2IBIB  +  2qrIBi  +  2pqIAIB  +  r2ii
r2  =  frekuensi golongan O  =  490/1000   =  0,49  ;  r  =   √ 0,49   =  0,7
(p + r)2    =  frekuensi golongan A  +  golongan O
(p + r)2   =  320+490/1000   =   0,81
(p + r )     = √ 0,81  =  0,9
p      =   0,9  -  0,7  =  0,2
Oleh karena ( p + q + r ) = 1, maka q = 1 – (p + q) = 1 – (0,2 + 0,7) = 0,1
Dengan demikian, frekuensi alel IA = p adalah 0,2; frekuensi alel IB = q = 0,1; dan frekuensi alel 1 = r = 0,7
b.      Frekuensi genotip IAIA = p2 = (0,2)2= 0,04. Jadi dari 320 orang bergolongan A yang diperkirakan homozigotik  IAIA = 0,04 x 1000 orang = 40 orang.
c.       Frekuensi  genotip IB i  = 2qr  =  2  (0,1 x 0,7)  =  0,14 . Jadi dari 150 orang bergolongan B yang diperkirakan heterozigotik IB i = 0,14 x 1000 orang = 140 orang.
3.      Menghitung frekuensi gen tertaut kromosom X.
Persoalan-persoalan yang dibicarakan sebelumnya merupakan cara menghitung frekuensi gen yang mempunyai lokus pada autosom. Namun, disamping autosom terdapat pula kromosom X. Oleh karena laki-laki hanya mempunyai sebuah kromosom X saja, maka cara menghitung frekuensi gennya berbeda dengan cara menghitung frekuensi gen pada kromosom X perempuan. Distribusi kesetimbangan dari genotip-genotip p untuk sifat yang tertaut kelamin, dengan p + q = 1 adalah sebagai berikut.
Untuk laki-laki = p + q , karena genotipnya A- dan a-
Untuk perempuan = p2 + 2pq + q2 , karena genotipnya AA, Aa, aa.

2.4 Contoh Soal Hukum Hardy Weinberg
Bila frekuensi gen yang satu dinyatakan dengan simbol p dan alelnya dengan simbol q, makasecara matematis hukum tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
p + q = 1 atau sama dengan 100%
(p + q) = 1 atau sama dengan 100%
P2 + 2pq + q2 = 1 atau sama dengan 100%
Pp + 2 pq + qq = 1 atau sama dengan 100%

Dimana:
pp        = alel yang homozigot dominan
2pq      = alel yang heterozigot
qq        = alel yang homozigot resesif
Contoh penggunaan hukum ini adalah sebagai berikut:
1.      Bila dalam suatu populasi masyarakat terdapat perasa kertas PTC 64% sedangkan bukan perasa PTC (tt) 36%,
a.       Berapa frekuensi gen perasa (T) dan gen bukan perasa (t) dalam populasi tersebut? 
b.       Berapakah rasio genotifnya?
Jawab:
a.       Gen bukan perasa PTC = tt = 36%
tt = 36% maka t =  = 0,6
T + t = 1
T = 1 – 0,6 = 0,4
Frekuensi gen T = 0,4 = 40%
Frekuensi gen t = 0,6 = 60%
b.      TT =
Tt = 2Tt = 2x 0,4 x 0,6 = 0,48 = 48%
Tt = (0,6) x 2 = 0,36 = 36%
Jadi perbandingan genotif TT : Tt : tt = 16 : 48 : 36
2.      Dalam masyarakat A yang berpenduduk 10.000 orang terdapat 4 orang albino. Berapaorang pembawa sifat albino pada masyarakat tersebut?
Jawab:
a.       Orang albino = aa =
A + a = 1
A = 1 – 0,02 = 0,98 dan a = 0,02
b.      Orang pembawa sifat albino (Aa)
Aa = 2Aa = 2 x 0,98 x 0,02 = 0,0392 = 3,92%
Berarti dalam populasi 10.000 orang terdapat carrier albino sebanyak 10.000 x 0,0392 = 392 orang.






BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum Hardy-Weinberg menyatakan bahwa jumlah frekuensi alel di dalam populasi akan tetap seperti frekuensi awal, dengan beberapa persyaratan yaitu: populasi sangat besar, kawin acak, tidak ada perubahan di dalam unggun gen akibat mutasi, tidak terjadi migrasi individu ke dalam dan ke luar populasi, dan tidak ada seleksi alam.
Apabila lima syarat dalam kesetimbangan Hardy Weinberg dilanggar, maka akan terjadi evolusi pada populasi tersebut, yang akan menyebabkan perubahan perbandingan alel dalam populasi tersebut.
Perubahan dari generasi ke generasi dalam hal frekuensi alel atau genotipe populasi lebih spesifik dikenal sebagai mikroevolusi.



DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Evolusi
http://bhimashraf.blogspot.com/2010/12/hukum-hardy-weinberg-dan-evolusi.html
http://masterbiologi.com/tag/hukum-hardy-weinberg-2/

Selasa, 18 Desember 2012

Konservasi Orang Utan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga kerabatnya, yaitu; gorila, simpanse, dan bonobo hidup di Afrika. Kurang dari 20.000 tahun yang lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di ujung selatan sampai ujung utara Pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan. Akan tetapi, saat ini jenis kera besar itu hanya ditemukan di Sumatera dan Borneo (Kalimantan), 90% berada di Indonesia. Penyebab utama mengapa terjadi penyempitan daerah sebaran adalah karena manusia dan orangutan menyukai tempat hidup yang sama, terutama dataran alluvial di sekitar daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi pihak orangutan.
Orangutan dapat dijadikan ‘umbrella species’ (spesies payung) untuk meningkatkan kesadaran konservasi masyarakat. Kelestarian orangutan menjamin kelestarian hutan yang menjadi habitatnya, sehingga diharapkan kelestarian makhluk hidup lain ikut terjaga pula. Sebagai pemakan buah, orangutan merupakan agen penyebar biji yang efektif untuk menjamin regenerasi hutan. Orangutan juga sangat menarik dari sisi ilmu pengetahuan karena kemiripan karakter biologi satwa itu dengan manusia. Sebagai satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, orangutan memiliki potensi menjadi ikon pariwisata untuk Indonesia.
Kondisi orangutan yang sangat memprihatinkan telah mendorong para peneliti, pelaku konservasi, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencari solusi terbaik yang dapat menjamin keberadaan primata itu di tengah upaya negara menyejahterakan masyarakatnya. Serangkaian pertemuan untuk menyusun strategi konservasi berdasarkan kondisi terkini orangutan telah diadakan, dimulai dari Lokakarya Pengkajian Populasi dan Habitat (Population Habitat and Viability Analysis) di Jakarta pada 2004, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan multipihak di Berastagi, Sumatera Utara, pada September 2005, dan di Pontianak, Kalimantan Barat pada Oktober 2005, serta di Samarinda pada Juni 2006. Ketiga pertemuan terakhir menyertakan pula pemerintah daerah di seluruh daerah sebaran orangutan, kalangan industri perkayuan, perkebunan kelapa sawit, dan utusan masyarakat, selain peneliti dan pelaku konservasi. Dialog yang dilakukan antara berbagai pihak dengan latar belakang kepentingan yang berbeda di ke-tiga pertemuan itu telah menghasilkan serangkaian rekomendasi yang mencerminkan keinginan baik semua pihak untuk melestarikan orangutan.

1.2  Rumusan Masalah
1        Bagaimana populasi dan habitat alam orangutan sumatera dan kalimantan dapat dipertahankan atau dalam kondisi stabil?.
2        Bagaimana dukungan publik terhadap konservasi orangutan sumatera dan kalimantan pada habitat alamnya meningkat?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konservasi
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut :
1.      Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary).
2.      Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara sosial (Randall, 1982).
3.      Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).
4.      Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).

2.2 Populasi dan Habitat Orang Utan
2.2.1 Orang Utan Sumatera (Pongo Abelii)
Saat ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Peta sebaran orangutan sumatera yang merupakan kompilasi (sumber: Wich,dkk draft).
Populasi orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Populasi lain yang diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang (viable) terdapat di Batang Toru, Sumatera Utara, dengan ukuran sekitar 400 individu.

2.2.2 Orang Utan Borneo (Pongo Pygmaeus)
Orangutan di Borneo sebagian besar mendiami hutan dataran rendah dan hutan rawa di Sabah, bagian barat daya Sarawak, Kalimantan Timur, serta bagian barat daya Kalimantan, antara Sungai Kapuas dan Sungai Barito (Wich, dkk draft). Para ahli mengamati adanya perbedaan yang cukup nyata di antara populasi orangutan di Borneo. Oleh karenanya, populasi orangutan borneo disepakati dibedakan menjadi tiga (3) kelompok geografi atau anak jenis, yaitu:
·         Pongo pygmaeus pygmaeus, di bagian Barat Laut Kalimantan, yaitu utara dari Sungai Kapuas sampai ke Timur Laut Sarawak;
·         Pongo pygmaeus wurmbii, di bagian Selatan dan Barat Daya Kalimantan, yaitu antara sebelah Selatan Sungai Kapuas dan Barat Sungai Barito; serta
·         Pongo pygmaeus morio, di Sabah sampai Sungai Mahakam di Kalimantan Timur.
Populasi terbesar (sekitar 32.000 individu) dijumpai di hutan gambut di sebelah Utara Sungai Kapuas. Tetapi populasi tersebut tidak berada di dalam sebuah habitat yang berkesinambungan, melainkan tersebar ke dalam berberapa kantong habitat dengan ukuran populasi yang berbeda-beda. Populasi orangutan ini sangat terkait dengan perubahan hutan di Kalimantan. Kerusakan hutan yang cukup tinggi di Kalimantan menyebabkan banyak habitat orangutan yang hilang.

2.3 Distribusi Geografis dan Variasi Kepadatan
Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataranrendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air  tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl.
Kepadatan orangutan, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, menurun drastis dengan bertambahnya ketinggian dari atas permukaan laut. Meskipun ada laporan yang menyatakan individu jantan soliter Sumatera dapat ditemukan sampai ketinggian 1.500 m dpl, sebagian besar populasi orangutan dijumpai jauh di bawah ketinggian itu, yaitu di hutan rawa dan dataran rendah. Sayangnya, tipe-tipe hutan itulah yang menjadi target utama pembangunan industri kehutanan dan pertanian, sehingga tidak mengherankan jika konflik antara manusia dan orangutan juga paling sering terjadi di sana.
Distribusi orangutan lebih ditentukan oleh faktor ketersediaan pakan yang disukai daripada faktor iklim. Orangutan termasuk satwa frugivora (pemakan buah), walaupun primata itu juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga, dan terkadang memakan tanah dan vertebrata kecil. Hingga saat ini tercatat lebih dari 1.000 spesies tumbuhan, jamur dan hewan kecil yang menjadi pakan orangutan. Kepadatan orangutan di Sumatera dan Kalimantan bervariasi sesuai dengan ketersediaan pakan. Densitas paling tinggi terdapat di daerah dataran banjir (flood-plain) dan hutan rawa gambut. Di Borneo terdapat lokasi yang memiliki densitas rata-rata 2,9 ± 0,5 individu per Km2. Sementara itu, di Sumatera terdapat 3 lokasi dengan densitas rata-rata 6,2 ± 1,4 individu per Km2. Daerah alluvial merupakan daerah dengan densitas tertinggi kedua, dengan 6 lokasi di Borneo yang memiliki rata-rata densitas 2,3 ± 0,8 individu per Km2 , dan 3 lokasi di Sumatera dengan rata-rata densitas 3,9 ± 1,4 individu per Km2. Di hutan perbukitan, orangutan ditemukan dalam densitas yang jauh lebih rendah dibandingkan kedua tipe hutan yang telah disebutkan sebelumnya (di Borneo rata-rata densitas 0,6 ± 0,4 individu per Km2 dan di Sumatera rata-rata 1,6 ± 0,5 individu per Km2).

2.4 Strategi Dan Rencana Aksi Nasional Konservasi Orang Utan Indonesia
      2007-2017
2.4.1 Strategi dan Program Pengelolaan Konservasi Orangutan
Pengelolaan konservasi orangutan dibagi ke dalam 3 strategi utama, yaitu :
1.      Strategi meningkatkan pelaksanaan konservasi insitu sebagai kegiatan utama penyelamatan orangutan di habitat aslinya
2.      Strategi mengembangkan konservasi eksitu sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi insitu orangutan
3.      Strategi meningkatkan penelitian untuk mendukung konservasi orangutan
Salah satu penyebab hilangnya habitat orangutan adalah perencanaan tata ruang yang kurang baik. Program konservasi orangutan membutuhkan kawasan hutan yang ada saat ini tetap sebagai kawasan hutan dan tidak dikonversi untuk penggunaan lain. Ini akan sangat membantu mengurangi tekanan kepada orangutan yang populasinya sudah sangat terancam punah (orangutan sumatera) dan terancam punah (orangutan kalimantan). Alokasi hutan sebagai habitat bisa dilakukan pada tingkat tata ruang kabupaten, propinsi maupun di tingkat nasional. Pemangku kepentingan dalam penyusunan tata ruang di tingkat kabupaten dan propinsi seharusnya mengalokasikan ruang untuk habitat orangutan.
Habitat orangutan djumpai di kawasan konservasi, hutan produksi, hutan lindung dan juga di kawasan budidaya non kehutanan. Penelitian menunjukkan bahwa 75% dari orangutan liar dijumpai di luar kawasan konservasi, kebanyakan di kawasan hutan produksi yang dikelola oleh HPH/HTI dan atau hutan lindung  Orangutan akan bisa bertahan hidup di areal kerja HPH yang dikelola dengan baik, tetapi tidak begitu banyak yang dapat bertahan pada daerah hutan tanaman. Disamping itu, habitat orangutan juga banyak yang berada pada kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) dimana kawasan ini relatif lebih mudah untuk dikonversi ke penggunaan lain, seperti perkebunan, pemukiman dan lainnya. Oleh karena itu, dunia usaha juga harus dilibatkan dalam upaya pengelolaan konservasi orangutan sehingga dampak akibat pembangunan baik di sektor kehutanan maupun di luar kehutanan terhadap orangutan dapat diminimalisir.


Deskripsi
Tata waktu
Pemangku Kepentingan
Skala Prioritas
Perlindungan habitat baik di dalam kawasan maupun diluar kawasan konservasi
1.  Membantu setiap pengelola hutan (unit manajemen usaha kehutanan) dan perkebunan untuk menyusun dan mengimplementasikan rencana kelola orangutan di areal kerjanya.

2.  Meningkatkan kapasitas unit pengelola kawasan konservasi (KSA dan KPA) dan hutan lindung dalam melakukan konservasi orangutan

3.  Membantu penyusunan SOP penanganan dan pengamanan orangutan dan habitatnya (termasuk tindakan pertolongan/ penyelamatan, mitigasi konflik dan termasuk keterlibatan masyarakat)

4.  Membangun dan mengelola koridor antar habitat orangutan yang sudah Terfragmentasi




5.  Membentuk kawasan perlindungan baru bagi orangutan di kawasan budidaya non kehutanan dalam bentuk kawasan konservasi daerah

6.  Mendorong habitat prioritas konservasi orangutan masuk ke dalam RTRW Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota
2008-2010




2008-2010



2008-2010




2008-2010





2010-2015



2008-2010

BPK, LSM, Kebun,
Universitas, HPH,
HTI, Tambang


PHKA, LSM,
masyarakat,
Pemda


PHKA, LSM,
masyarakat, HPH,
HTI, Kebun,
Tambang


PHKA, Universitas,
HPH, HTI, Kebun,
Tambang, LSM,
Masyarakat

PHKA, Pemda, LSM



PHKA, BAPPENAS,
Pemda, LSM/Ornop,
Ditjen Tata Ruang
PU.
2





3




1




1







2



2
Tabel Program dan rencana aksi meningkatkan pelaksanaan konservasi insitu sebagai kegiatan utama penyelamatan orangutan di habitat aslinya

Indonesia sudah mempunyai data sebaran orangutan (PHVA, 2004) yang akan terus diperbarui. Data ini menjadi alat bantu dalam mengindentifikasi area kunci (key areas) yang saat ini bukan merupakan kawasan konservasi. Area kunci ini bisa diusulkan menjadi kawasan konservasi sehingga dapat menambah dan memperluas kawasan konservasi yang telah ada. Informasi yang ada mencakup habitat dan populasi orangutan yang berada disekitar kawasan tersebut. Contohnya : penunjukan Taman Nasional Sabangau di Kalimantan Tengah. Pada kawasan ini dijumpai populasi orangutan yang penting namun terancam, yang masih bertahan hidup setelah beberapa tahun terjadi kerusakan habitat di areal tersebut.
Disamping itu, perlu dimunculkan terobosan-terobosan baru atau paling tidak mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang ada, yang berkaitan dengan upaya konservasi satwa liar dilindungi. Misalnya: upaya konservasi keanekaragaman hayati di kawasan hutan produksi karena hutan produksi juga merupakan habitat penting satwa liar dilindungi, termasuk orangutan. Pengelola kawasan harus mempunyai sistem yang baik untuk pengelolaan satwa liar langka, jarang dan terancam punah sehingga keberadaan satwa liar dilindungi bisa tetap lestari. Kegiatan pengelolaan ini merupakan kewajiban para pengelola hutan produksi sesuai peraturan yang berlaku. Hal lain yang bisa dilakukan adalah pembentukan kawasan konservasi daerah pada areal KBNK. Kawasan ini ditetapkan dan dikelola oleh pemerintah daerah. Ini dapat menjadi terobosan dalam meningkatkan peran daerah dalam konservasi orangutan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Populasi orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Populasi lain yang diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang (viable) terdapat di Batang Toru, Sumatera Utara, dengan ukuran sekitar 400 individu.
Populasi terbesar (sekitar 32.000 individu) dijumpai di hutan gambut di sebelah Utara Sungai Kapuas. Tetapi populasi tersebut tidak berada di dalam sebuah habitat yang berkesinambungan, melainkan tersebar ke dalam berberapa kantong habitat dengan ukuran populasi yang berbeda-beda.




DAFTAR PUSTAKA


Corner, E.H.J. 1978. The Plant Life. In: Kinibalu summit of Borneo (Luping, D.M., wen, C.W., dan Dingley, E.R. eds.),Sabah Soc. Kota Kinibalu p. 112-178
Delgado, R.A., dan van Schaik, C.P. 2000. The Behavior Ecology and Conservation of the Orangutan (Pongopygmaeus): A Tale of Two Island. Evol Anthropol 9: 201-218
Djojosudharmo, S., dan van Schaik, C.P. 1992. Why are orang utans so rare in the highlands? Altitudinal changes ina Sumatran forest. Trop. Biodiv., 1, 11-22.
Ellis, S., Singleton, I., Andayani, N., Traylor-Holzer, K., dan Supriatna, J. (eds.).2006. Sumatran Orangutan
Conservation Action Plan. Washington, DC and Jakarta, Indonesia: Conservation International
Final Report: Bornean Orangutan Conservation Action Plan Workshop, 12-14 October 2005, Pontianak, West Kalimantan, Indonesia
Galdikas, B.M.F. 1982. Orangutan as seed dispersal at Tanjung Putting Reserve Central Borneo. In: The Orangutan: Its Biology and Conservation (Boer, L.D. ed). Junk Pub, Boston, p. 285
Galdikas, B.M.F. 1984. Adaptasi orangutan di Suaka Tanjung Putting, Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Groves, C. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press, Washington, DC
Husson, S., Meijaard, E., Singleton, I., van Schaik, C.P., dan Wich, S.A. 2003. The Status of the Orangutan in Indonesia, 2003. Pre-PHVA meeting, Singapore, August 13-15, 2003, Orangutan Foundation-UK, London, UK
IUCN (World Conservation Union) 2007 IUCN Red List ofThreatened Species (IUCN, Gland, Switzerland, 2007).
Mackinnon, J.R. 1974. The ecology and behaviour of wild orang-utans (Pongo pygmaeus). Anim. Behav. 22: 3-74
Meijaard, E., Rijksen, H.D., and Kartikasari, S.N. 2001. Di Ambang Kepunahan!: Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Tropenbos, Gibbon Foundation.